Pantai Marina Ampana

Pantai Marina ini terletak di ujung kota Ampana Kabupaten Tojo Unauna.

My Second son.... ANDRA

Andra.. kaget saat tahu kalau dirinya dijepret.. cepat besar my son..

Desa Kabalutan di Kepulauan Togean 2008

Desa yang berpenghuni sekitar 2000 orang, yang rata-rata dari suku Bajo..

Brimob di Tanah Runtuh Poso.

Insiden kontak senjata antara polisi dan kelompok sipil bersenjata di kawasan Gebangrejo,Poso Kota 22 Januari 2007 yang menewaskan empat belas orang masih meninggalkan kisah dan trauma yang mendalam.

Pantai Talise

Matahari senja di Pantai Talise Palu.

Brimob di Tanah Runtuh Poso.

Insiden kontak senjata antara polisi dan kelompok sipil bersenjata di kawasan Gebangrejo,Poso Kota 22 Januari 2007 yang menewaskan empat belas orang masih meninggalkan kisah dan trauma yang mendalam.

Sunset Wakai

Sunset di pelabuhan Desa Wakai Kepulauan Togean.

Rabu, 28 Januari 2009

Empat Jam Terkurung Dalam Dentuman Peluru dan Bom


Insiden kontak senjata antara polisi dan kelompok sipil bersenjata di kawasan Gebangrejo,Poso Kota 22 Januari 2007 yang menewaskan empat belas orang masih meninggalkan kisah dan trauma yang mendalam.Bukan hanya warga Gebangrejo tapi juga sejumlah wartawan media televisi yang sempat terkurung selama empat jam dalam insiden ini. Bagaimana kisahnya? Berikut penuturan Abdullah K Mari, Koresponden ANTV Palu yang turun langsung meliput tragedi berdarah itu.

Sabtu malam (20/1) sekitar pukul 20.00 WITA saya menerima telepon dari teman saya seorang anggota Brimob menginformasikan akan adanya penggrebekan DPO di Tanah Runtuh,Poso Kota Senin pagi (22/1). Malam itu ternyata dia bersama pasukannya sudah lama mengendap di sekitar tanah runtuh untuk melakukan penyergapan pagi harinya.
Kami sepakat untuk bangun pukul 05.00 WITA dan liputan bareng. Agar tidak telat bangun, saya pun mengaktifkan alarm handpnone saya. Tepat pukul 05.00 WITA, alarm handpone saya berdering. Saya pun terbangun dan bergegas menuju kamar mandi mengambil air wudhlu untuk shalat subuh. Seusai sholat subuh dan memastikan semua peralatan liputan siap, kami keluar rumah dengan mengendarai mobil AVANZA milik rekan Syamsuddin Koresponden SCTV Palu.

Pagi itu, Syamsuddin menjemput kami, Ridwan Lapasere (kontributor Global TV Palu), dan Upik Nyong (Kameramen RCTI Palu). Sekitar setengah jam kemudian kami pun bergerak sambil berembuk dimana lokasi yang strategis dan paling aman untuk meliput. Keamanan dan keselamatan menjadi pertimbangan utama kami.
Karena bingung, kami memutuskan berhenti sementara di depan agen travel New Armada di Jalan Pulau Sumatera yang berseberangan jalan dengan kantor Polres Poso. Arus lalu lintas pagi itu sangat sepi. Hampir tidak ada kendaraan yang melintas. Cuaca sendiri cukup cerah.Sangat berbeda dengan hari-hari sebelumnya mendung dan turun hujan. Nampak dari kejauhan toko-toko di depan Pasar Sentral Poso tertutup rapat.
Saya menoleh ke kantor Polres Poso dan memperhatikan beberapa truk dan mobil rantis yang terparkir di halaman kantor itu. Selang beberapa saat, satu per satu kendaraan itu bergerak keluar.Saya dan rekan-rekan mulai curiga kalau penyergapan sudah mulai dipersiapkan.
Untuk memastikan itu, saya dan rekan-rekan mencoba menghubungi informan masing-masing. Namun sayang, koneksi handphone kami yang kebetulan semuanya menggunakan kartu produk telkomsel tidak bisa tersambung. Berkali-kali dicoba namun tetap tidak bisa. Kami sadar kalau jaringan telepon selular kembali diblokir seperti beberapa kejadian sebelumnya.
Khawatir kecolongan, saya dan rekan-rekan sepakat bergerak menuju Pasar Sentral Poso. Di depan pusat perbelanjaan di kota Poso kami berhenti. Suasana di tempat itu sepi.Toko-toko semua tertutup rapat dan tidak terlihat adanya aktivitas di dalam pasar. Entah kenapa. Mungkin para pedagang dan pemilik toko sudah tahu kalau pagi itu akan ada penyergapan DPO.
Kami berembuk menentukan lokasi liputan yang paling strategis dan aman. Di benak saya terpikir untuk bisa memperoleh gambar yang bagus dan aman tentunya harus bareng dengan aparat. Namun pagi itu, kami tidak tahu dimana konsentrasi polisi.
Setelah berembuk sekitar lima belas menit, kami sepakat mengambil lokasi liputan di rumah Iwan Ahmad, kontributor Trans TV Poso yang tinggal di Jalan Pulau Alor, kelurahan Gebangrejo, Poso Kota. Apalagi lokasinya cukup dekat dengan kawasan Tanah Runtuh yang bakal jadi target penyergapan. Sepanjang jalan menuju rumah yang letaknya hanya berjarak seratus meter dari kawasan Tanah Runtuh ini, nampak terlihat lengang. Hanya sesekali terlihat tukang ojek melintas. Sebagian rumah warga terlihat masih tertutup.
Setiba di rumah Iwan dan memarkir mobil di teras rumahnya sekitar pukul 07.00 WITA, kami duduk di teras sembari ngobrol-ngobrol. Iwan pun melayani kami dengan sajian teh manis dan makanan ringan. Sambil mencicipi makanan ringan, saya berbisik kepada Iwan agar standbye karena pagi ini polisi akan melakukan penyergapan DPO di Tanah Runtuh. Iwan kaget karena rupanya baru mengetahui informasi tersebut.
Saat jarum jam menunjukkan pukul 08.05 WITA tiba-tiba muncul sebuah mobil truk sedang dari arah Jalan Pulau Irian. Sopir mobil tersebut melintas sembari berteriak kepada warga agar segera masuk dan bersiap-siap karena mereka sudah dekat. Saya belum paham apa maksud dari kata-kata sopir tadi yang berlalu begitu cepat.Namun saya menduga kalau penyergapan sepertinya segera dimulai.
Saya pun memanggil rekan-rekan agar bergerak dan mendekati lokasi Tanah Runtuh sambil mengambil gambar.Saya, Iwan Ahmad, Subandi dan Syamsuddin jalan lebih dulu sedangkan Upik Nyong dan Ridwan Lapasere agak di belakang. Tepat di pertigaan Jalan Pulau Alor-Pulau Irian, saya tersentak kaget ketika melihat seorang lelaki berpostur sedang mengenakan topeng menenteng senjata laras panjang.Saya langsung menduga kalau orang tersebut adalah anggota kelompok DPO dari Tanah Runtuh.Tanpa tegur sapa,lelaki tersebut melintas begitu saja.
Sekitar sepuluh meter tempat saya berdiri tepat di depan rumah salah seorang warga, saya melihat sekitar lima orang lelaki yang semuanya menenteng senjata laras panjang.Dua orang diantaranya mengenakan topeng dan duduk di atas sepeda motor. Mereka sempat berteriak agar segera bersiap-siap.Sadar kalau itu anggota kelompok DPO, saya segera meminta rekan-rekan untuk tidak mengambil gambar dan mematikan handycam.
Setelah itu,saya berlima berjalan pelan-pelan sambil memegang handycam menuju arah Tanah Runtuh sambil melintasi lima lelaki bersenjata tak dikenal tadi.Namun baru beberapa meter melangkah,tiba-tiba salah seorang dari mereka dengan senjata ditangan mencegat dan menanyakan tujuan kami. Saya dan Iwan yang kebetulan di depan dalam keadaan gugup menjawab kalau kami akan masuk ke Tanah Runtuh untuk meliput.
Mendengar jawaban kami, lelaki berpostur kekar tadi spontan menjawab agar segera balik haluan dan tidak usah kesana (Tanah Runtuh,red). Jika tidak, dia mengancam akan menembak kami.’’Tidak usah kesana. Daripada saya tembak kamu,’’ancam lelaki tadi dengan nada tegas.
Mendengar ancaman tadi, saya dan rekan-rekan pun mulai ketakutan dan bergegas balik haluan. Selang beberapa satu menit kemudian tiba-tiba terdengar rentetan tembakan yang tidak jelas dari mana sumbernya. Saya dan teman-teman panik seketika dan langsung masuk ke rumah salah seorang dokter yang letaknya tepat di sudut pertigaan Jalan Pulau Alor-Pulau Irian. Khawatir rumah itu tidak aman untuk tempat berlindung, saya mengajak teman-teman segera pindah tempat dan memutuskan kembali dan berlindung di rumah Iwan.
Sesampai di rumah Iwan, saya tidak langsung masuk ke dalam rumah. Saya dan Iwan berhenti di pintu pagar. Saat itulah kembali muncul lelaki bertopeng menenteng senjata yang berpapasan dengan kami tadi. Lelaki tadi mengancam kepada kami agar jangan ada yang lari dan tetap tinggal di rumah.Kami pun mengiyakan.’’Jangan memang ada yang lari. Semuanya tetap tinggal di rumah,’’tegas lelaki tersebut.
Dalam keadaan ketakutan dan panik, saya dan teman-teman langsung masuk ke dalam rumah Iwan dan menutup pintu rapat-rapat. Suasana pun jadi tegang dan mencekam. Mertua dan keluarga Iwan pun panik dan ketakutan.Sebagian diantaranya masuk dalam kamar. Nyaris tidak ada suara terdengar. Hanya sesekali, anak sulung Iwan bernama Echa menangis. Namun mertua Iwan berusaha menenangkan cucunya.
Kami semua tiarap di lantai rumah. Tidak ada yang berani mengangkat kepala karena takut terkena peluru nyasar.Sejak saat itu, rentetan tembakan diselingi ledakan bom terus bersahutan. Ratusan butir peluru berhamburan dari berbagai jenis senjata. Semur hidupku baru kali itu mendengar dan mengalaminya.Di samping kiri dan kanan serta belakang rumah Iwan tak luput dari hantaman bom dengan suara yang cukup memekikkan telinga. Serpihan ledakannya pun terdengar menerpa atap rumah.
eski tidak sempat melihat kontak senjata dan ledakan bom secara langsung namun saya tetap berusaha mengabadikan kejadian itu dalam rumah. Saya tetap nyalakan handycamku dan merekam suara rentetan tembakan dan ledakan bom. Saya perhatikan teman-teman lain juga begitu.
Tak lama terdengar suara helikopter yang mengeluarkan himbauan agar warga semua tetap dalam rumah dan jangan ada yang keluar agar tidak terkena peluru nyasar. Saya mencoba memberanikan diri bangun dan menuju bagian dapur rumah Iwan. Di tempat itu saya melihat dan merekam helikopter yang berputar-putar di ketinggian sekitar empat ratus meter sembari menyampaikan imbauan lewat mikropon.
Sekitar dua jam berlalu, rentetan tembakan saling berbalasan dan ledakan bom terus terjadi. Tiba-tiba terdengar suara pekikan takbir sembari menyebutkan nama seseorang yang terkena tembakan dari arah Tanah Runtuh. Kami menduga salah seorang dari kelompok DPO telah terkena tembakan.Namun kejadian itu tidak menyurutkan frekwensi tembakan di kawasan Tanah Runtuh.
Sekitar pukul 11.00 WITA , frekwensi tembakan serta ledakan bom mulai menurun.Nampaknya kelompok DPO telah dipukul mundur oleh polisi dan mulai terdesak ke kawasan Bukit Jati.Beberapa saat kemudian, muncul empat orang anggota brimob bersenjata lengkap dan langsung masuk halaman rumah tempat kami berlindung.
Setelah kedatangan sejumlah anggota brimob yang menjadikan rumah Iwan juga sebagai tempat pertahanan, saya pun memberanikan diri mengambil gambar secara diam-diam dari sudut jendela. Teman-teman lainpun minta bergiliran.Tak heran gambar rekaman saya dan wartawan televisi lainnya hampir sama.
Menjelang pukul 12.00 WITA,suara tembakan dan ledakan bom terdengar semakin jauh dan nyaris tak terdengar lagi. Kami seisi rumah mulai memberanikan diri bangun sembari menyantap buah rambutan dan langsat yang kebetulan baru saja dibeli mertua Iwan.Mungkin karena lapar bercampur rasa takut sehingga kami makan dengan lahapnya.
Setelah itu, saya keluar lewat pintu belakang dan mengambil gambar beberapa anggota brimob bersenjata lengkap yang juga berada di belakang rumah Iwan. Mereka sempat kaget begitu melihat saya menyalakan handycam. Namun setelah memperkenalkan diri saya akhirnya mereka mengerti dan meminta berhati-hati dalam meliput.
Beberapa saat kemudian, sebagian anggota brimob tadi bergerak menuju Tanah Runtuh. Sebagian diantaranya masih siaga di depan rumah. Tiba-tiba salah seorang anggota brimob itu berteriak agar menjauh karena ada bom tergeletak di teras rumah tepat di sebelah rumah Iwan. Suasana pun kembali tegang dan panik. Terlebih pemilik rumah yang sejak tadi bersembunyi dan tiarap di dalam rumahnya.
Saya sendiri memberanikan diri untuk keluar dan mengikuti para polisi bersenjata. Sambil mengendap-endap saya mengikuti punggung anggota Brimob yang menggunakan rompi anti peluru dan menenteng dua senjata laras panjang. Saya menoleh ke belakang, ternyata teman-teman lain tidak mengikuti saya. Dengan sedikit was-was, saya terus mengikuti punggung sang polisi. ''Hati-hati pak, mereka (para DPO,Red) masih banyak di sana(sambil menunjuk bukit didepan kami),'' anggota brimob itu memperingati.
Benar saja, belum jauh saya melangkah, rentetan tembakan terdengar dan kemudian semua anggota polisi itu berlindung, termasuk saya.
Saat berlindung itu, saya melihat ratusan selonsong peluru di teras rumah salah seorang warga, serta beberapa bom yang tidak meledak. Dalam keadaan was-was saya tetap mengabadikan momen demi momen berharag itu.
Makin jauh saya masuk, dan akhir saya bertemu dengan puluhan brimob dan anggota densus 88 yang sedang istirahat di balik bangunan rumah dinas guru. Saya ikut istirahat dan ditawarkan ransum oleh seorang polisi. Sambil makan ransum susu, seorang perwira polisi yang tak lain adalah Kapolres Poso AKBP Rudy Sufahriadi melihat saya dan menegurnya. "Wah, kamu berani juga masuk sampai disini. Rekan-rekanmu yang lain mana?,'' kata dia. Saya jawab teman-teman balik kanan ke mako polres. Dia hanya memperingatkan agar hati-hati karena para DPO masih menembak dari arah depan di bukit jati di Jalan Irian Jaya. Benar saja, dua kali rentetan senjata mesin laras panjang, terdengar bersamaan dengan bunyi batang pohon dan dinding yang terkena peluru. Saya spontan tiarap sambil terus merekam di handycam.
Sekitar 1 jam saya bersama para polisi, saya berinisiatif untuk kembali ke mako polres. Saya ke rumah rekan saya Iwan dengan harapan rekan-rekan lainnya masih berada disana. Ternyata mereka sudah lebih dulu kembali. Saya terpaksa menggunakan sepeda motor Iwan untuk menuju ke Polres.
(tulisan lainnya silakan dilihat di http://ajipalu.wordpress.com)

Kisah Liputan Tanah Runtuh


Seorang jurnalis yang meliput diwilayah konflik, resikonya terkadang jauh lebih berbahaya dibanding seorang wartawan peliput perang. Posisi wartawan peliput konflik sangat rentan dengan ancaman kekerasan dan kematian, karena posisinya dituntut untuk bersikap independen pada kedua pihak yang berseteru. Apakah itu dari kelompok Islam atau Kristen, atau antara kelompok yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) Tanah Runtuh dan pihak kepolisian untuk kasus konflik Poso misalnya. Kisah Samsudin dari SCTV itu adalah contohnya, ia nyaris remuk ditangan kelompok DPO Poso. Sementara Abdullah K. Mari wartawan ANTV yang selama ini bertugas di Palu, ia nyaris di bogem, justru di Kantor Polres Poso.

Coba simak cerita yang dituturkan Sam, begitu kawan kita kelahiran Tanah Bugis itu disapah, berkisah seperti begini; Sekitar sepuluh meter dari tempat saya berdiri, saya melihat lima lelaki menenteng senjata laras panjang. Dua diantaranya mengenakan topeng dan duduk di atas sepeda motor. Orang itu memberi aba-aba agar segera bersiap-siap. Sadar kalau itu anggota kelompok DPO, saya segera meminta rekan-rekan untuk tidak mengambil gambar dan mematikan handycame. Saya, bersama lima kawan yang lain, berjalan pelan sambil memegang handycame menuju arah Tanah Runtuh sambil melintasi lima lelaki bersenjata tak dikenal tadi. Tiba-tiba, salah seorang dari mereka dengan senjata terhunus mencegat dan menanyakan tujuan kami. Saya dan Iwan Lapasere, kontributor Global TV di Palu, dengan perasaan cemas dan gugup menjawab, akan masuk ke Tanah Runtuh untuk meliput, kami wartawan. Mendengar jawaban itu, lelaki berpostur kekar tadi spontan menjawab agar segera balik haluan dan tidak usah Tanah Runtuh. “Jika tidak balik, saya akan tembak kamu”, ancam lelaki tadi dengan nada tegas.
Itulah sepenggal cerita yang tak mungkin anda baca dimedia apa saja. Kisah dibalik layar itu tuturkan oleh Samsudin, wartawan SCTV yang meliput kisah penyerbuan polisi di tanah Runtuh Kelurahan Gebang Rejo Kecamatan Poso Kota. Sebuah kawasan yang selama ini ditengarai tempat bermukim para pentolan DPO yang selama ini dituding polisi sebagai biang kekerasan yang memicu reaksi kekerasan demi kekerasan di Tanah Poso.
Kalau Abdi, nama kecil Abdullah K. Mari, wartawan ANTV yang masa kecilnya dihabiskan di Poso, punya kisah yang juga mengenaskan dari kantor Mapolres Poso. Ia cerita begini: Saat itu posisi waktu menunjukkan pukul 14.00 WITA. Sejumlah korban kontak tembak dengan kelompok sipil bersenjata digiring ke Mapolres Poso. Beberapa meter dari pintu saya melihat jejeran orang penuh luka dan berlumuran darah. Sekitar tujuh orang dijejer, enam diantaranya sudah tewas dan satu masih bergerak. Belum lama mengambil gambar, seorang anggota Propam Polres Poso mendekati saya dan bertanya apakah saya anggota polisi. Saya menjawab, saya adalah wartawan. Saya lalu ditarik keluar dengan kasar. Seorang perwira polisi lalu ikut menginterogasi saya dan berusaha menyita kamera saya. Saya berusaha menjelaskan bahwa saya sudah mendapat ijin dari kapolres untuk mengambil gambar korban. Perwira itu bahkan membentak saya dan terus mengorek keterangan dari mulut saya. Dengan kasar, sambil memegang kamera saya dan mencengkeram kerah baju saya, polisi itu menggiring saya menuju ke ruang Iden (Identifikasi). Di ruang iden saya bertemu dengan perwira polisi yang ternyata orang Polda Sulteng dari Bidang Humas dan kenal dengan saya. Dialah yang menyelamatkan saya dan kamera saya. Perwira berpangkat AKP itu lalu memarahi anggota propam itu sambil meminta maaf kepada saya.

Itulah kisah dari orang-orang (wartawan, red) yang mengabdi untuk kepentingan publik, namun yang dituai adalah teror-teror psikologis, terkadang, kekerasan juga meronai perjalanan hidup wartawan di medan konflik. Kematian Wartawan Poso Pos, I Wayan Sumaryase pada 2002 lalu adalah contoh paling ekstrim.
Dengan kondisi ekstrim seperti demikian, terkadang wartawan bekerja dilapangan bagai orang satu tim dari media yang sama, padahal mereka berburu berita untuk sebuah aktualitas dan eklusivitas dari masing-masing medianya. Namun karena taruhan nyawa saban saat mengintip, mereka bekerja tak lagi bagai supermen, tapi supertim yang kompak.
Simaklah cerita Samsudin, ketika polisi melakukan aksi penyerbuan di kelompok DPO di Tanah Runtu Gebangrejo pada 22 januari lalu; Setelah menjemput rekan Ridwan Lapasere (kontributor Global TV Palu), Upik Nyong (Kameramen RCTI Palu) dan Abdullah K Mari (kontributor ANTV Palu), sekitar setengah jam kemudian kami pun bergerak sambil berembuk, dimana lokasi yang strategis dan paling aman untuk meliput.Keamanan dan keselamatan menjadi pertimbangan utama kami. Setelah berembuk, sekitar lima belas menit, kami sepakat mengambil lokasi liputan di rumah Iwan Ahmad, kontributor Trans TV Poso yang tinggal di Jalan Pulau Alor, kelurahan Gebangrejo, Poso Kota. Apalagi lokasinya cukup dekat dengan kawasan Tanah Runtuh yang bakal jadi target operasi. Sepanjang jalan menuju rumah yang letaknya hanya berjarak seratus meter dari kawasan Tanah Runtuh ini, nampak terlihat lengang. Hanya sesekali terlihat tukang ojek melintas. Sebagian rumah warga terlihat masih tutup.
Rumah Iwan Ahmad, wartawan Trans TV di Poso jadi base camp sementara karena jaraknya yang sangat dengan lokasi yang akan dijadikan target operasi polisi. Pada pukul tujuh pagi, kembali sekelompok wartawan yang umumnya jurnalis televisi itu kembali mengatur strategi liputan sembari menikmati kopi pagi dirumah Iwan Ahmad.
Jarum jam menunjukkan pukul 08.05 WITA , sekonyong-konyong muncul sebuah mobil truk berukuran sedang dari arah Jalan Pulau Irian Poso . Sopir mobil tersebut melintas sembari berteriak kepada warga agar segera masuk dan bersiap-siap karena mereka sudah dekat. Ternyata yang dimaksud mereka sudah dekat adalah pasukan kepolisian yang akan melakukan penyerbuan pada pagi itu 22 januari 2007 di Tanah Runtuh Poso.
Teriakan sopir truk tadi membuat wartawan langsung sigap mengambil posisi, Samsudin bahkan langsung mengarahkan kameranya pada beberapa sudut yang suasananya ketika itu sudah mencekam, demikian juga Abdhi, Upik Nyong, dan Iwan Lapasere. Ketika itu orang-orang pada diam, sesekali berbisik. Samsudin yang wartawan SCTV itu kembali mengajak rekan-rekan jurnalis lainya untuk segera bergerak dan mendekati lokasi Tanah Runtuh sambil mengambil gambar. Sam (SCTV), Iwan Ahmad (Trans TV), Subandi (Metro TV) dan Abdullah K Mari (ANTV) bergerak duluan, sementara Upik Nyong (Kameramen RCTI) dan Ridwan Lapasere (Global TV) menyusul dari belakang.
Tepat di pertigaan Jalan Pulau Alor-Pulau Irian, para jurnalis itu tersentak kaget ketika melihat seorang lelaki berpostur sedang mengenakan topeng menenteng senjata laras panjang. Ternyata lelaki berbadan kekar itu adalah anggota kelompok DPO dari Tanah Runtuh. Tanpa tegur sapa, lelaki tersebut melintas begitu saja. Tak diduga, ternyata kembali menyusul lima orang berbadan tegap, dua diantaranya memakai topeng, sementara beberapa wartawan mulai mengambil gambar disekitar Tanah Runtuh. Tak diduga, salah seorang dari lelaki berbadan tegap itu langsung membentak dan menanyakan tujuan para wartawan itu. Walau sudah dijelaskan kalau mereka wartawan, namun lelaki yang ditengarai kelompok DPO itu menghardik dan meminta para wartawan balik haluan. ’’Tidak usah kesana. Daripada saya tembak kamu,’’ancam lelaki tadi, seperti dituturkan Samsudin. Para jurnalis itu akhirnya memutuskan kembali ke rumah Iwan Ahmad.
Saat itu mulai berseliweran beberapa lelaki memakai topeng sembari menenteng senjata. Lelaki itu kembali mengancam para wartawan dan beberapa warga yang ada disekitar rumah Iwan Ahmad. ’’Jangan memang ada yang lari. Semuanya tetap tinggal di rumah,’’tegas lelaki kekar itu, seperti dikisahkan Abdi.
Dalam keadaan ketakutan dan panik, para jurnalis yang sudah berkali-kali meliput “perang” antar warga di Poso itu langsung masuk rumah Iwan dan menutup pintu rapat-rapat. Suasana pun jadi tegang dan mencekam. Mertua dan keluarga Iwan pun panik ketakutan. Sebagian diantaranya masuk dalam kamar. Nyaris tidak ada suara terdengar. Hanya sesekali, anak sulung Iwan bernama Echa menangis. Namun mertua Iwan berusaha menenangkan cucunya.
Orang-rang di rumah Iwan Ahmad semuanya dalam kondisi psikologis yang tegang , Persis di film-film perang kata Iwan Lapase. Semua orang yang ada dalam rumah mengambil posisi tiarap untuk menghindari peluru nyasar. Sesaat kemudian rentetan tembakan diselingi ledakan bom terus bersahutan. Ratusan butir peluru berhamburan dari berbagai jenis senjata. Di samping kiri dan kanan serta belakang rumah Iwan tak luput dari hantaman bom dengan suara yang cukup memekakakan telinga. Serpihan ledakannya pun terdengar menerpa atap rumah Iwan Ahmad. Para kawan-kawan wartawan itu beberapa diantaranya mengambil gambar dengan super hati-hati, kondisinya sangat berbahaya karena sumber peluru dan bom tak saja datang dari kelompok DPO, tapi juga bersumber dari senjata polisi.
Dalam susasana tembak menembak itu, terdengar suara helikopter yang meraung-raung sambil mengeluarkan himbauan agar warga tetap dalam rumah dan jangan ada yang keluar agar tidak terkena peluru nyasar. Samsudin ternyata nekat ia mencoba memberanikan diri bangun dan menuju bagian dapur rumah Iwan. Di tempat itu ia melihat dan merekam helikopter yang berputar-putar di ketinggian sekitar empat ratus meter sembari menyampaikan imbauan lewat mikropon.
Sekitar dua jam berlalu, rentetan tembakan saling berbalasan dan ledakan bom terus terjadi. Tiba-tiba terdengar suara pekikan takbir sembari menyebutkan nama seseorang yang terkena tembakan dari arah Tanah Runtuh. Para wartawan itu menduga salah seorang dari kelompok DPO telah terkena tembakan. Namun kejadian itu tidak menyurutkan frekwensi tembakan di kawasan Tanah Runtuh.
Pukul 11.00 WITA , frekwensi tembakan serta ledakan bom mulai menurun.Nampaknya kelompok DPO telah dipukul mundur oleh polisi dan mulai terdesak ke kawasan Bukit Jati, masih disekitar tanah Runtuh. Sesaat kemudian, muncul empat orang anggota brimob bersenjata lengkap dan langsung masuk halaman rumah Iwan Ahmad, tempat para wartawan berlindung. Anggota Brimob itu paham kalau beberapa diantara lelaki yang kurang kekar itu adalah wartawan, polisi itu meminta agar semua tenang dan tetap didalam rumah. Kesempatan itu dimanfaatkan para wartawan untuk kembali mengambil gambar secara bergantian dari balik jendela. Kata Samsudin, semua gambar wartawan ketika itu sama, karena di shot dari posisi yang sama.
Ketika kontak tembak itu agak redah, para wartawan kembali meluncur ke Mapolres Poso, karena beberapa korban di evakuasi ke Mapolres. Ternyata Abdi (ANTV) ditinggalkan para kawannya, ia menyusul kemudian, namun sial bagi Abdi, ketika kameranya asik menyapu beberapa sudut ruang yang berlumuran darah, ia dihardik seorang anggota polisi, nyaris “ketupat bengkulu” polisi mendarat di pipi Abdi. Beruntung seorang Perwira Polsisi dari Humas Mapolda Sulteng mengenal Abdi. Bogem itu tak jadi meluncur.
Teramat sulit membayangkan, bila anak-anak negeri ini tak paham tugas seorang jurnalis, entah itu dari DPO konflik Poso juga polisi dan warga lainnya. Mereka bekerja dibawa ancaman senapan, serpihan bom, serta hardikan dari orang-orang yang tak paham tugas wartawan. Hasil liputan itu terkadang kita baca, atau tonton di televisi, dengar di radio, sembari menyeruput kopi hangat. Kita tak tau kalau Samsudin dari SCTV nyaris di dor dengan senjata laras panjang oleh seorang lelaki berbadan kekar, dan Abdullah K. Mari (ANTV) juga nyaris di bogem justru di kantor polisi.

Jumat, 16 Januari 2009

Israel Gagal Total di Perang Media


Dalam semua aspek dan persepektif yang ada, sangat sulit menerima dan memahami apa yang dilakukan oleh Israel terhadap Jalur Gaza. Bahkan ketika seseorang menyampaikan empati terhadap “serangan balasan Israel” akan Hamas, siapapun tidak akan bisa menemukan pembenaran kelakuan bejat taktik militer Negara Zionis itu.


Tiga pekan, maka hampir seluruh Gaza punah. Lebih dari 1100 orang tewas, setengah di antaranya adalah anak-anak dan wanita, dan 5000 terluka, dan itu tampaknya tak sedikitpun mengendurkan Israel untuk menghentikan agresinya itu.

Sejak dari dulu sampai sekarang, ketika Israel tengah melakukan kejahatan kemanusiaan, maka dengan serentak, Israel menerapkan penguasaan media yang seragam. Ketika Israel membombardir Lebanon di musim panas tahun 2006 lalu, para model yang berkebangsaan Israel dengan berbikini ria membanjiri semua halaman majalah di AS. Mantan Miss Israel, Gal Gadot mengaku diminta langsung oleh konsulat Israel di New York untuk memperlihatkan tubuhnya tanpa sehelai benang pun sebagai bagian dari “pengalihan perang Israel”—demikian dilaporkan New York Post, Juni 2007. Dan sekarang ketika langit Gaza pekat oleh asap bom, taktik serupa juga diberlakukan. Majalah Maxim dan majalah serta tabloid bertiras tinggi di AS dan Eropa banyak memajang wanita bugil.

Tapi apakah sekarang Israel memenangkan perang media ini? Menteri Luar Negeri Israel, Tzipi Livni menyampaikan sebuah pesan di YouTube bahwa dengan membuat 1,5 juta orang Palestina di Jalur Gaza kelaparan, sekarat, terpenjara, dan dibom akan membuat dunia menjadi lebih damai, menjadi lebih baik, dan indah untuk demokrasi serta keamanan dunia. Namun, kenyataannya tidak selalu yang diharapkan para Zionis itu terwujud. Surat kabar di AS semakin hari semakin memperlihatkan obyektivitasnya. Selain memenuhi pesanan Tel Aviv, mereka juga menyisakan satu ruang kosong, dan membuat pertanyaan : 'Apa yang dimenangkan oleh Israel sebenarnya?

Kenyataannya, Israel sekarang tak bisa lagi memenangkan perang media di AS. Ribuan orang di negeri itu lebih berhati-hati dan memfilter semua berita yang masuk. Semua kenyataan perang yang ditimbulkan oleh Israel; potret bocah-bocah Palestina yang dibantai, sekolah PBB yang dihancurkan bom, gedung, rumah dan rumah sakit yang diratakan tanah, telah membuka mata semua orang di negeri itu.

Internet membuka semua kemungkinan bahwa Israel tak akan pernah bisa lagi menyembunyikan segala kelakukan barbarnya. Israel sekarang harus menghadapi kenyataan, strategi perang medianya tak berjalan. Warga AS dan Barat tak selamanya senang melihat paha mulus—sebaliknya, atas nama nurani, mereka bangkit ketika melihat bayi yang terkoyak karena bom.(sumber :eramuslim.com)

Lirik We Will Not Go Down (Song For Gaza) - Michael Heart


Ingin Download Lagunya silakan ke Klik di sini

WE WILL NOT GO DOWN (Song for Gaza)
(Composed by Michael Heart)
Copyright 2009

A blinding flash of white light
Lit up the sky over Gaza tonight
People running for cover
Not knowing whether they’re dead or alive


They came with their tanks and their planes
With ravaging fiery flames
And nothing remains
Just a voice rising up in the smoky haze

We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight

Women and children alike
Murdered and massacred night after night
While the so-called leaders of countries afar
Debated on who’s wrong or right

But their powerless words were in vain
And the bombs fell down like acid rain
But through the tears and the blood and the pain
You can still hear that voice through the smoky haze

We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight


Gaza Merebut Simpati Dunia


Gaza boleh dibakar. Demikian juga masjid, rumah, dan sekolah. Pada saat bersamaan, para pemimpin dunia memperdebatkan siapa yang salah dan siapa yang benar.
Jalur diplomasi yang ditempuh, hanya menghasilkan kesia-siaan. Sebab, bom-bom tetap dijatuhkan bagaikan hujan asam. Wanita dan anak-anak dibunuh setiap malam.


Tapi, melalui tetes air mata dan darah serta rasa sakit, Anda masih bisa mendengar suara itu di tengah kepulan asap. Pejuang Hamas tak akan menyerah melawan kekejaman negara Zionis itu. Semangat yang tak akan pernah mati.

Itulah cuplikan lagu Michael Heart, musisi asal Los Angeles, Amerika Serikat (AS), yang mendedikasikan lagunya itu untuk rakyat Gaza. Berbeda dengan album pop-rock sebelumnya, seperti Unsolicited Material yang dirilis Maret 2008, lagunya kali ini dapat diperoleh gratis melalui situsnya, www.michaelheart.com.

Sebagai gantinya, gitaris yang bermukim di Los Angeles sejak 1990 itu meminta siapa pun yang mengunduh lagu--dibuat Januari 2009--itu agar menyumbangkan dana kepada rakyat Palestina. Warga bangsa yang kini menjadi korban agresi Israel.

Dana itu dapat disumbangkan langsung ke salah satu yayasan atau organisasi sosial yang membantu rakyat Palestina. Michael yang pernah tinggal di Swiss, Austria, dan Timur Tengah itu menyebut di antaranya adalah Badan Pekerja dan Bantuan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA). Badan PBB yang berdiri sejak 1949.

Michael memang bukan siapa-siapa. Dia hanya musisi yang menghabiskan waktu 18 tahun di rumah studionya dengan membuat berbagai album lagu bagi artis lokal di Los Angeles.

Tapi, dia punya cara tersendiri untuk mengekspresikan kejengkelannya. Apa yang disebutnya sebagai upaya meringankan penderitaan rakyat Palestina.

Kendati namanya tidak setenar musisi dunia, seperti John Lenon dengan Imagine atau Freedie Mercury dengan There Must Be More Life Than This, beberapa artis ternama pernah bekerja sama dengannya.

Sebut saja di antaranya Will Smith, Toto, Natalie Cole, The Temptations, Brandy, Jesse McCartney, Jessica Simpson, dan Phil Collins. Kelihaiannya sebagai gitaris dan keahliannya sebagai insinyur rekaman audio membuatnya dikenal sejumlah artis papan atas.

Alumnus sebuah sekolah rekaman, Full Sail, ini juga terlibat dalam beberapa proyek rekaman dengan produser Rodney Jerkins, Philippe Saisse, dan David Foster. Selain menghabiskan waktunya di studio rekaman, Michael yang fasih berbahasa Prancis ini kerap mengadakan tur musik, terutama masa-masa di awal tahun 1990.

Di antara turnya yang kemudian menjadi album adalah kolaborasinya dengan grup band jazz lembut Jango. Saat ini, dia tampil live dalam Mark & Brian Radio Program yang disiarkan Los Angeles Rock Radio Station 95.5 KLOS.

Michael Heart merupakan salah satu di antara warga dunia yang menolak terjadinya kejahatan kemanusiaan di Gaza. Memang, tidak harus menggelar demonstrasi untuk memperlihatkan simpati.

Michael dengan kemampuan yang dimiliki, membuat lirik lagu yang menggambarkan situasi horor rakyat Palestina di Gaza. Sumbangannya, untuk mengecam agresi Israel.

Lain Michael, lain pula penyanyi beken Annie Lennox dan komedian Alexei Sayle. Mereka punya cara yang berbeda untuk menyerukan dihentikannya kejahatan kemanusiaan di Gaza.

Pada Jumat (2/1) lalu di London, Inggris, bersama dengan mantan model, Bianca Jagger, dan mantan wali kota London, Ken Livingstone, mereka menggelar jumpa pers.

Lennox meminta diakhirinya apa yang mereka sebut pembantaian dan pembunuhan sistematis di Gaza. Israel harus menghentikan agresi militer yang dianggap sebagai respons atas serangan roket-roket Hamas.

''Saya berpikir atas nama seorang ibu dan manusia biasa, bagaimana ini (perang) dapat menjadi solusi bagi perdamaian,'' katanya dengan nada emosional. ''Bagaimana mencari jawaban dari masalah ini?'' lanjutnya.

Menurut Lennox, harus ada waktu di mana mereka yang terlibat konflik duduk satu meja. ''Saya berada di sini untuk mengekspresikan kebebasan berpendapat. Hak saya sebagai bagian dari dunia yang bebas untuk mendorong warga bangsa menentang resolusi konflik yang tak akan pernah berhasil.''

Alexei Sayle yang keturunan Yahudi-Lithuania meminta agar publik figur Yahudi untuk menyuarakan bahwa penyerbuan ke Gaza bukan atas nama mereka. ''Ketika Anda menyerang seseorang, tapi mengira Anda sebagai orang baik, bagaimana itu bisa terjadi?''

Sayle kemudian menyatakan, sering kali juru bicara Israel berdalih orang-orang yang mereka bunuh karena bersalah. Namun, dia justru menyebut itu sebagai pembunuhan dan pemerkosaan secara psikologis. Bentuk lain dari pembunuhan itu sendiri.

''Dan, itulah memang yang dilakukan Israel saat ini.'' Dia menambahkan, ''Saya sejatinya ingin memiliki kebanggaan menjadi seorang Israel. Tapi, kini saya malu.''

Dalam kesempatan yang sama, Bianca Jagger menyerukan dukungannya untuk segera mengakhiri perang tersebut. Presiden terpilih AS, Barack Obama, semestinya dapat berperan lebih menghentikan agresi itu.

''Warga dunia berharap banyak atas terpilihnya dia (Obama). Kami menunggunya agar segera menghentikan perang,'' kata Jagger.

Keesokan harinya, 20 ribu warga London tumpah ruah dalam long march dari Embankment di London ke Trafalgar Square. Lennox, Bianca Jagger, Alexei Sayle, dan Ken Levingston tampak di antara kerumunan massa menentang bombardemen Israel atas Gaza.

Michael Heart, Annie Lennox, dan Bianca Jagger kini tinggal menggantungkan harapan. Sebelum kekerasan itu berakhir, apa pun itu, simpati dunia telah berpihak ke rakyat Gaza.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More