Rabu, 28 Januari 2009

Kisah Liputan Tanah Runtuh


Seorang jurnalis yang meliput diwilayah konflik, resikonya terkadang jauh lebih berbahaya dibanding seorang wartawan peliput perang. Posisi wartawan peliput konflik sangat rentan dengan ancaman kekerasan dan kematian, karena posisinya dituntut untuk bersikap independen pada kedua pihak yang berseteru. Apakah itu dari kelompok Islam atau Kristen, atau antara kelompok yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) Tanah Runtuh dan pihak kepolisian untuk kasus konflik Poso misalnya. Kisah Samsudin dari SCTV itu adalah contohnya, ia nyaris remuk ditangan kelompok DPO Poso. Sementara Abdullah K. Mari wartawan ANTV yang selama ini bertugas di Palu, ia nyaris di bogem, justru di Kantor Polres Poso.

Coba simak cerita yang dituturkan Sam, begitu kawan kita kelahiran Tanah Bugis itu disapah, berkisah seperti begini; Sekitar sepuluh meter dari tempat saya berdiri, saya melihat lima lelaki menenteng senjata laras panjang. Dua diantaranya mengenakan topeng dan duduk di atas sepeda motor. Orang itu memberi aba-aba agar segera bersiap-siap. Sadar kalau itu anggota kelompok DPO, saya segera meminta rekan-rekan untuk tidak mengambil gambar dan mematikan handycame. Saya, bersama lima kawan yang lain, berjalan pelan sambil memegang handycame menuju arah Tanah Runtuh sambil melintasi lima lelaki bersenjata tak dikenal tadi. Tiba-tiba, salah seorang dari mereka dengan senjata terhunus mencegat dan menanyakan tujuan kami. Saya dan Iwan Lapasere, kontributor Global TV di Palu, dengan perasaan cemas dan gugup menjawab, akan masuk ke Tanah Runtuh untuk meliput, kami wartawan. Mendengar jawaban itu, lelaki berpostur kekar tadi spontan menjawab agar segera balik haluan dan tidak usah Tanah Runtuh. “Jika tidak balik, saya akan tembak kamu”, ancam lelaki tadi dengan nada tegas.
Itulah sepenggal cerita yang tak mungkin anda baca dimedia apa saja. Kisah dibalik layar itu tuturkan oleh Samsudin, wartawan SCTV yang meliput kisah penyerbuan polisi di tanah Runtuh Kelurahan Gebang Rejo Kecamatan Poso Kota. Sebuah kawasan yang selama ini ditengarai tempat bermukim para pentolan DPO yang selama ini dituding polisi sebagai biang kekerasan yang memicu reaksi kekerasan demi kekerasan di Tanah Poso.
Kalau Abdi, nama kecil Abdullah K. Mari, wartawan ANTV yang masa kecilnya dihabiskan di Poso, punya kisah yang juga mengenaskan dari kantor Mapolres Poso. Ia cerita begini: Saat itu posisi waktu menunjukkan pukul 14.00 WITA. Sejumlah korban kontak tembak dengan kelompok sipil bersenjata digiring ke Mapolres Poso. Beberapa meter dari pintu saya melihat jejeran orang penuh luka dan berlumuran darah. Sekitar tujuh orang dijejer, enam diantaranya sudah tewas dan satu masih bergerak. Belum lama mengambil gambar, seorang anggota Propam Polres Poso mendekati saya dan bertanya apakah saya anggota polisi. Saya menjawab, saya adalah wartawan. Saya lalu ditarik keluar dengan kasar. Seorang perwira polisi lalu ikut menginterogasi saya dan berusaha menyita kamera saya. Saya berusaha menjelaskan bahwa saya sudah mendapat ijin dari kapolres untuk mengambil gambar korban. Perwira itu bahkan membentak saya dan terus mengorek keterangan dari mulut saya. Dengan kasar, sambil memegang kamera saya dan mencengkeram kerah baju saya, polisi itu menggiring saya menuju ke ruang Iden (Identifikasi). Di ruang iden saya bertemu dengan perwira polisi yang ternyata orang Polda Sulteng dari Bidang Humas dan kenal dengan saya. Dialah yang menyelamatkan saya dan kamera saya. Perwira berpangkat AKP itu lalu memarahi anggota propam itu sambil meminta maaf kepada saya.

Itulah kisah dari orang-orang (wartawan, red) yang mengabdi untuk kepentingan publik, namun yang dituai adalah teror-teror psikologis, terkadang, kekerasan juga meronai perjalanan hidup wartawan di medan konflik. Kematian Wartawan Poso Pos, I Wayan Sumaryase pada 2002 lalu adalah contoh paling ekstrim.
Dengan kondisi ekstrim seperti demikian, terkadang wartawan bekerja dilapangan bagai orang satu tim dari media yang sama, padahal mereka berburu berita untuk sebuah aktualitas dan eklusivitas dari masing-masing medianya. Namun karena taruhan nyawa saban saat mengintip, mereka bekerja tak lagi bagai supermen, tapi supertim yang kompak.
Simaklah cerita Samsudin, ketika polisi melakukan aksi penyerbuan di kelompok DPO di Tanah Runtu Gebangrejo pada 22 januari lalu; Setelah menjemput rekan Ridwan Lapasere (kontributor Global TV Palu), Upik Nyong (Kameramen RCTI Palu) dan Abdullah K Mari (kontributor ANTV Palu), sekitar setengah jam kemudian kami pun bergerak sambil berembuk, dimana lokasi yang strategis dan paling aman untuk meliput.Keamanan dan keselamatan menjadi pertimbangan utama kami. Setelah berembuk, sekitar lima belas menit, kami sepakat mengambil lokasi liputan di rumah Iwan Ahmad, kontributor Trans TV Poso yang tinggal di Jalan Pulau Alor, kelurahan Gebangrejo, Poso Kota. Apalagi lokasinya cukup dekat dengan kawasan Tanah Runtuh yang bakal jadi target operasi. Sepanjang jalan menuju rumah yang letaknya hanya berjarak seratus meter dari kawasan Tanah Runtuh ini, nampak terlihat lengang. Hanya sesekali terlihat tukang ojek melintas. Sebagian rumah warga terlihat masih tutup.
Rumah Iwan Ahmad, wartawan Trans TV di Poso jadi base camp sementara karena jaraknya yang sangat dengan lokasi yang akan dijadikan target operasi polisi. Pada pukul tujuh pagi, kembali sekelompok wartawan yang umumnya jurnalis televisi itu kembali mengatur strategi liputan sembari menikmati kopi pagi dirumah Iwan Ahmad.
Jarum jam menunjukkan pukul 08.05 WITA , sekonyong-konyong muncul sebuah mobil truk berukuran sedang dari arah Jalan Pulau Irian Poso . Sopir mobil tersebut melintas sembari berteriak kepada warga agar segera masuk dan bersiap-siap karena mereka sudah dekat. Ternyata yang dimaksud mereka sudah dekat adalah pasukan kepolisian yang akan melakukan penyerbuan pada pagi itu 22 januari 2007 di Tanah Runtuh Poso.
Teriakan sopir truk tadi membuat wartawan langsung sigap mengambil posisi, Samsudin bahkan langsung mengarahkan kameranya pada beberapa sudut yang suasananya ketika itu sudah mencekam, demikian juga Abdhi, Upik Nyong, dan Iwan Lapasere. Ketika itu orang-orang pada diam, sesekali berbisik. Samsudin yang wartawan SCTV itu kembali mengajak rekan-rekan jurnalis lainya untuk segera bergerak dan mendekati lokasi Tanah Runtuh sambil mengambil gambar. Sam (SCTV), Iwan Ahmad (Trans TV), Subandi (Metro TV) dan Abdullah K Mari (ANTV) bergerak duluan, sementara Upik Nyong (Kameramen RCTI) dan Ridwan Lapasere (Global TV) menyusul dari belakang.
Tepat di pertigaan Jalan Pulau Alor-Pulau Irian, para jurnalis itu tersentak kaget ketika melihat seorang lelaki berpostur sedang mengenakan topeng menenteng senjata laras panjang. Ternyata lelaki berbadan kekar itu adalah anggota kelompok DPO dari Tanah Runtuh. Tanpa tegur sapa, lelaki tersebut melintas begitu saja. Tak diduga, ternyata kembali menyusul lima orang berbadan tegap, dua diantaranya memakai topeng, sementara beberapa wartawan mulai mengambil gambar disekitar Tanah Runtuh. Tak diduga, salah seorang dari lelaki berbadan tegap itu langsung membentak dan menanyakan tujuan para wartawan itu. Walau sudah dijelaskan kalau mereka wartawan, namun lelaki yang ditengarai kelompok DPO itu menghardik dan meminta para wartawan balik haluan. ’’Tidak usah kesana. Daripada saya tembak kamu,’’ancam lelaki tadi, seperti dituturkan Samsudin. Para jurnalis itu akhirnya memutuskan kembali ke rumah Iwan Ahmad.
Saat itu mulai berseliweran beberapa lelaki memakai topeng sembari menenteng senjata. Lelaki itu kembali mengancam para wartawan dan beberapa warga yang ada disekitar rumah Iwan Ahmad. ’’Jangan memang ada yang lari. Semuanya tetap tinggal di rumah,’’tegas lelaki kekar itu, seperti dikisahkan Abdi.
Dalam keadaan ketakutan dan panik, para jurnalis yang sudah berkali-kali meliput “perang” antar warga di Poso itu langsung masuk rumah Iwan dan menutup pintu rapat-rapat. Suasana pun jadi tegang dan mencekam. Mertua dan keluarga Iwan pun panik ketakutan. Sebagian diantaranya masuk dalam kamar. Nyaris tidak ada suara terdengar. Hanya sesekali, anak sulung Iwan bernama Echa menangis. Namun mertua Iwan berusaha menenangkan cucunya.
Orang-rang di rumah Iwan Ahmad semuanya dalam kondisi psikologis yang tegang , Persis di film-film perang kata Iwan Lapase. Semua orang yang ada dalam rumah mengambil posisi tiarap untuk menghindari peluru nyasar. Sesaat kemudian rentetan tembakan diselingi ledakan bom terus bersahutan. Ratusan butir peluru berhamburan dari berbagai jenis senjata. Di samping kiri dan kanan serta belakang rumah Iwan tak luput dari hantaman bom dengan suara yang cukup memekakakan telinga. Serpihan ledakannya pun terdengar menerpa atap rumah Iwan Ahmad. Para kawan-kawan wartawan itu beberapa diantaranya mengambil gambar dengan super hati-hati, kondisinya sangat berbahaya karena sumber peluru dan bom tak saja datang dari kelompok DPO, tapi juga bersumber dari senjata polisi.
Dalam susasana tembak menembak itu, terdengar suara helikopter yang meraung-raung sambil mengeluarkan himbauan agar warga tetap dalam rumah dan jangan ada yang keluar agar tidak terkena peluru nyasar. Samsudin ternyata nekat ia mencoba memberanikan diri bangun dan menuju bagian dapur rumah Iwan. Di tempat itu ia melihat dan merekam helikopter yang berputar-putar di ketinggian sekitar empat ratus meter sembari menyampaikan imbauan lewat mikropon.
Sekitar dua jam berlalu, rentetan tembakan saling berbalasan dan ledakan bom terus terjadi. Tiba-tiba terdengar suara pekikan takbir sembari menyebutkan nama seseorang yang terkena tembakan dari arah Tanah Runtuh. Para wartawan itu menduga salah seorang dari kelompok DPO telah terkena tembakan. Namun kejadian itu tidak menyurutkan frekwensi tembakan di kawasan Tanah Runtuh.
Pukul 11.00 WITA , frekwensi tembakan serta ledakan bom mulai menurun.Nampaknya kelompok DPO telah dipukul mundur oleh polisi dan mulai terdesak ke kawasan Bukit Jati, masih disekitar tanah Runtuh. Sesaat kemudian, muncul empat orang anggota brimob bersenjata lengkap dan langsung masuk halaman rumah Iwan Ahmad, tempat para wartawan berlindung. Anggota Brimob itu paham kalau beberapa diantara lelaki yang kurang kekar itu adalah wartawan, polisi itu meminta agar semua tenang dan tetap didalam rumah. Kesempatan itu dimanfaatkan para wartawan untuk kembali mengambil gambar secara bergantian dari balik jendela. Kata Samsudin, semua gambar wartawan ketika itu sama, karena di shot dari posisi yang sama.
Ketika kontak tembak itu agak redah, para wartawan kembali meluncur ke Mapolres Poso, karena beberapa korban di evakuasi ke Mapolres. Ternyata Abdi (ANTV) ditinggalkan para kawannya, ia menyusul kemudian, namun sial bagi Abdi, ketika kameranya asik menyapu beberapa sudut ruang yang berlumuran darah, ia dihardik seorang anggota polisi, nyaris “ketupat bengkulu” polisi mendarat di pipi Abdi. Beruntung seorang Perwira Polsisi dari Humas Mapolda Sulteng mengenal Abdi. Bogem itu tak jadi meluncur.
Teramat sulit membayangkan, bila anak-anak negeri ini tak paham tugas seorang jurnalis, entah itu dari DPO konflik Poso juga polisi dan warga lainnya. Mereka bekerja dibawa ancaman senapan, serpihan bom, serta hardikan dari orang-orang yang tak paham tugas wartawan. Hasil liputan itu terkadang kita baca, atau tonton di televisi, dengar di radio, sembari menyeruput kopi hangat. Kita tak tau kalau Samsudin dari SCTV nyaris di dor dengan senjata laras panjang oleh seorang lelaki berbadan kekar, dan Abdullah K. Mari (ANTV) juga nyaris di bogem justru di kantor polisi.

0 komentar:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More