Rabu, 28 Januari 2009

Empat Jam Terkurung Dalam Dentuman Peluru dan Bom


Insiden kontak senjata antara polisi dan kelompok sipil bersenjata di kawasan Gebangrejo,Poso Kota 22 Januari 2007 yang menewaskan empat belas orang masih meninggalkan kisah dan trauma yang mendalam.Bukan hanya warga Gebangrejo tapi juga sejumlah wartawan media televisi yang sempat terkurung selama empat jam dalam insiden ini. Bagaimana kisahnya? Berikut penuturan Abdullah K Mari, Koresponden ANTV Palu yang turun langsung meliput tragedi berdarah itu.

Sabtu malam (20/1) sekitar pukul 20.00 WITA saya menerima telepon dari teman saya seorang anggota Brimob menginformasikan akan adanya penggrebekan DPO di Tanah Runtuh,Poso Kota Senin pagi (22/1). Malam itu ternyata dia bersama pasukannya sudah lama mengendap di sekitar tanah runtuh untuk melakukan penyergapan pagi harinya.
Kami sepakat untuk bangun pukul 05.00 WITA dan liputan bareng. Agar tidak telat bangun, saya pun mengaktifkan alarm handpnone saya. Tepat pukul 05.00 WITA, alarm handpone saya berdering. Saya pun terbangun dan bergegas menuju kamar mandi mengambil air wudhlu untuk shalat subuh. Seusai sholat subuh dan memastikan semua peralatan liputan siap, kami keluar rumah dengan mengendarai mobil AVANZA milik rekan Syamsuddin Koresponden SCTV Palu.

Pagi itu, Syamsuddin menjemput kami, Ridwan Lapasere (kontributor Global TV Palu), dan Upik Nyong (Kameramen RCTI Palu). Sekitar setengah jam kemudian kami pun bergerak sambil berembuk dimana lokasi yang strategis dan paling aman untuk meliput. Keamanan dan keselamatan menjadi pertimbangan utama kami.
Karena bingung, kami memutuskan berhenti sementara di depan agen travel New Armada di Jalan Pulau Sumatera yang berseberangan jalan dengan kantor Polres Poso. Arus lalu lintas pagi itu sangat sepi. Hampir tidak ada kendaraan yang melintas. Cuaca sendiri cukup cerah.Sangat berbeda dengan hari-hari sebelumnya mendung dan turun hujan. Nampak dari kejauhan toko-toko di depan Pasar Sentral Poso tertutup rapat.
Saya menoleh ke kantor Polres Poso dan memperhatikan beberapa truk dan mobil rantis yang terparkir di halaman kantor itu. Selang beberapa saat, satu per satu kendaraan itu bergerak keluar.Saya dan rekan-rekan mulai curiga kalau penyergapan sudah mulai dipersiapkan.
Untuk memastikan itu, saya dan rekan-rekan mencoba menghubungi informan masing-masing. Namun sayang, koneksi handphone kami yang kebetulan semuanya menggunakan kartu produk telkomsel tidak bisa tersambung. Berkali-kali dicoba namun tetap tidak bisa. Kami sadar kalau jaringan telepon selular kembali diblokir seperti beberapa kejadian sebelumnya.
Khawatir kecolongan, saya dan rekan-rekan sepakat bergerak menuju Pasar Sentral Poso. Di depan pusat perbelanjaan di kota Poso kami berhenti. Suasana di tempat itu sepi.Toko-toko semua tertutup rapat dan tidak terlihat adanya aktivitas di dalam pasar. Entah kenapa. Mungkin para pedagang dan pemilik toko sudah tahu kalau pagi itu akan ada penyergapan DPO.
Kami berembuk menentukan lokasi liputan yang paling strategis dan aman. Di benak saya terpikir untuk bisa memperoleh gambar yang bagus dan aman tentunya harus bareng dengan aparat. Namun pagi itu, kami tidak tahu dimana konsentrasi polisi.
Setelah berembuk sekitar lima belas menit, kami sepakat mengambil lokasi liputan di rumah Iwan Ahmad, kontributor Trans TV Poso yang tinggal di Jalan Pulau Alor, kelurahan Gebangrejo, Poso Kota. Apalagi lokasinya cukup dekat dengan kawasan Tanah Runtuh yang bakal jadi target penyergapan. Sepanjang jalan menuju rumah yang letaknya hanya berjarak seratus meter dari kawasan Tanah Runtuh ini, nampak terlihat lengang. Hanya sesekali terlihat tukang ojek melintas. Sebagian rumah warga terlihat masih tertutup.
Setiba di rumah Iwan dan memarkir mobil di teras rumahnya sekitar pukul 07.00 WITA, kami duduk di teras sembari ngobrol-ngobrol. Iwan pun melayani kami dengan sajian teh manis dan makanan ringan. Sambil mencicipi makanan ringan, saya berbisik kepada Iwan agar standbye karena pagi ini polisi akan melakukan penyergapan DPO di Tanah Runtuh. Iwan kaget karena rupanya baru mengetahui informasi tersebut.
Saat jarum jam menunjukkan pukul 08.05 WITA tiba-tiba muncul sebuah mobil truk sedang dari arah Jalan Pulau Irian. Sopir mobil tersebut melintas sembari berteriak kepada warga agar segera masuk dan bersiap-siap karena mereka sudah dekat. Saya belum paham apa maksud dari kata-kata sopir tadi yang berlalu begitu cepat.Namun saya menduga kalau penyergapan sepertinya segera dimulai.
Saya pun memanggil rekan-rekan agar bergerak dan mendekati lokasi Tanah Runtuh sambil mengambil gambar.Saya, Iwan Ahmad, Subandi dan Syamsuddin jalan lebih dulu sedangkan Upik Nyong dan Ridwan Lapasere agak di belakang. Tepat di pertigaan Jalan Pulau Alor-Pulau Irian, saya tersentak kaget ketika melihat seorang lelaki berpostur sedang mengenakan topeng menenteng senjata laras panjang.Saya langsung menduga kalau orang tersebut adalah anggota kelompok DPO dari Tanah Runtuh.Tanpa tegur sapa,lelaki tersebut melintas begitu saja.
Sekitar sepuluh meter tempat saya berdiri tepat di depan rumah salah seorang warga, saya melihat sekitar lima orang lelaki yang semuanya menenteng senjata laras panjang.Dua orang diantaranya mengenakan topeng dan duduk di atas sepeda motor. Mereka sempat berteriak agar segera bersiap-siap.Sadar kalau itu anggota kelompok DPO, saya segera meminta rekan-rekan untuk tidak mengambil gambar dan mematikan handycam.
Setelah itu,saya berlima berjalan pelan-pelan sambil memegang handycam menuju arah Tanah Runtuh sambil melintasi lima lelaki bersenjata tak dikenal tadi.Namun baru beberapa meter melangkah,tiba-tiba salah seorang dari mereka dengan senjata ditangan mencegat dan menanyakan tujuan kami. Saya dan Iwan yang kebetulan di depan dalam keadaan gugup menjawab kalau kami akan masuk ke Tanah Runtuh untuk meliput.
Mendengar jawaban kami, lelaki berpostur kekar tadi spontan menjawab agar segera balik haluan dan tidak usah kesana (Tanah Runtuh,red). Jika tidak, dia mengancam akan menembak kami.’’Tidak usah kesana. Daripada saya tembak kamu,’’ancam lelaki tadi dengan nada tegas.
Mendengar ancaman tadi, saya dan rekan-rekan pun mulai ketakutan dan bergegas balik haluan. Selang beberapa satu menit kemudian tiba-tiba terdengar rentetan tembakan yang tidak jelas dari mana sumbernya. Saya dan teman-teman panik seketika dan langsung masuk ke rumah salah seorang dokter yang letaknya tepat di sudut pertigaan Jalan Pulau Alor-Pulau Irian. Khawatir rumah itu tidak aman untuk tempat berlindung, saya mengajak teman-teman segera pindah tempat dan memutuskan kembali dan berlindung di rumah Iwan.
Sesampai di rumah Iwan, saya tidak langsung masuk ke dalam rumah. Saya dan Iwan berhenti di pintu pagar. Saat itulah kembali muncul lelaki bertopeng menenteng senjata yang berpapasan dengan kami tadi. Lelaki tadi mengancam kepada kami agar jangan ada yang lari dan tetap tinggal di rumah.Kami pun mengiyakan.’’Jangan memang ada yang lari. Semuanya tetap tinggal di rumah,’’tegas lelaki tersebut.
Dalam keadaan ketakutan dan panik, saya dan teman-teman langsung masuk ke dalam rumah Iwan dan menutup pintu rapat-rapat. Suasana pun jadi tegang dan mencekam. Mertua dan keluarga Iwan pun panik dan ketakutan.Sebagian diantaranya masuk dalam kamar. Nyaris tidak ada suara terdengar. Hanya sesekali, anak sulung Iwan bernama Echa menangis. Namun mertua Iwan berusaha menenangkan cucunya.
Kami semua tiarap di lantai rumah. Tidak ada yang berani mengangkat kepala karena takut terkena peluru nyasar.Sejak saat itu, rentetan tembakan diselingi ledakan bom terus bersahutan. Ratusan butir peluru berhamburan dari berbagai jenis senjata. Semur hidupku baru kali itu mendengar dan mengalaminya.Di samping kiri dan kanan serta belakang rumah Iwan tak luput dari hantaman bom dengan suara yang cukup memekikkan telinga. Serpihan ledakannya pun terdengar menerpa atap rumah.
eski tidak sempat melihat kontak senjata dan ledakan bom secara langsung namun saya tetap berusaha mengabadikan kejadian itu dalam rumah. Saya tetap nyalakan handycamku dan merekam suara rentetan tembakan dan ledakan bom. Saya perhatikan teman-teman lain juga begitu.
Tak lama terdengar suara helikopter yang mengeluarkan himbauan agar warga semua tetap dalam rumah dan jangan ada yang keluar agar tidak terkena peluru nyasar. Saya mencoba memberanikan diri bangun dan menuju bagian dapur rumah Iwan. Di tempat itu saya melihat dan merekam helikopter yang berputar-putar di ketinggian sekitar empat ratus meter sembari menyampaikan imbauan lewat mikropon.
Sekitar dua jam berlalu, rentetan tembakan saling berbalasan dan ledakan bom terus terjadi. Tiba-tiba terdengar suara pekikan takbir sembari menyebutkan nama seseorang yang terkena tembakan dari arah Tanah Runtuh. Kami menduga salah seorang dari kelompok DPO telah terkena tembakan.Namun kejadian itu tidak menyurutkan frekwensi tembakan di kawasan Tanah Runtuh.
Sekitar pukul 11.00 WITA , frekwensi tembakan serta ledakan bom mulai menurun.Nampaknya kelompok DPO telah dipukul mundur oleh polisi dan mulai terdesak ke kawasan Bukit Jati.Beberapa saat kemudian, muncul empat orang anggota brimob bersenjata lengkap dan langsung masuk halaman rumah tempat kami berlindung.
Setelah kedatangan sejumlah anggota brimob yang menjadikan rumah Iwan juga sebagai tempat pertahanan, saya pun memberanikan diri mengambil gambar secara diam-diam dari sudut jendela. Teman-teman lainpun minta bergiliran.Tak heran gambar rekaman saya dan wartawan televisi lainnya hampir sama.
Menjelang pukul 12.00 WITA,suara tembakan dan ledakan bom terdengar semakin jauh dan nyaris tak terdengar lagi. Kami seisi rumah mulai memberanikan diri bangun sembari menyantap buah rambutan dan langsat yang kebetulan baru saja dibeli mertua Iwan.Mungkin karena lapar bercampur rasa takut sehingga kami makan dengan lahapnya.
Setelah itu, saya keluar lewat pintu belakang dan mengambil gambar beberapa anggota brimob bersenjata lengkap yang juga berada di belakang rumah Iwan. Mereka sempat kaget begitu melihat saya menyalakan handycam. Namun setelah memperkenalkan diri saya akhirnya mereka mengerti dan meminta berhati-hati dalam meliput.
Beberapa saat kemudian, sebagian anggota brimob tadi bergerak menuju Tanah Runtuh. Sebagian diantaranya masih siaga di depan rumah. Tiba-tiba salah seorang anggota brimob itu berteriak agar menjauh karena ada bom tergeletak di teras rumah tepat di sebelah rumah Iwan. Suasana pun kembali tegang dan panik. Terlebih pemilik rumah yang sejak tadi bersembunyi dan tiarap di dalam rumahnya.
Saya sendiri memberanikan diri untuk keluar dan mengikuti para polisi bersenjata. Sambil mengendap-endap saya mengikuti punggung anggota Brimob yang menggunakan rompi anti peluru dan menenteng dua senjata laras panjang. Saya menoleh ke belakang, ternyata teman-teman lain tidak mengikuti saya. Dengan sedikit was-was, saya terus mengikuti punggung sang polisi. ''Hati-hati pak, mereka (para DPO,Red) masih banyak di sana(sambil menunjuk bukit didepan kami),'' anggota brimob itu memperingati.
Benar saja, belum jauh saya melangkah, rentetan tembakan terdengar dan kemudian semua anggota polisi itu berlindung, termasuk saya.
Saat berlindung itu, saya melihat ratusan selonsong peluru di teras rumah salah seorang warga, serta beberapa bom yang tidak meledak. Dalam keadaan was-was saya tetap mengabadikan momen demi momen berharag itu.
Makin jauh saya masuk, dan akhir saya bertemu dengan puluhan brimob dan anggota densus 88 yang sedang istirahat di balik bangunan rumah dinas guru. Saya ikut istirahat dan ditawarkan ransum oleh seorang polisi. Sambil makan ransum susu, seorang perwira polisi yang tak lain adalah Kapolres Poso AKBP Rudy Sufahriadi melihat saya dan menegurnya. "Wah, kamu berani juga masuk sampai disini. Rekan-rekanmu yang lain mana?,'' kata dia. Saya jawab teman-teman balik kanan ke mako polres. Dia hanya memperingatkan agar hati-hati karena para DPO masih menembak dari arah depan di bukit jati di Jalan Irian Jaya. Benar saja, dua kali rentetan senjata mesin laras panjang, terdengar bersamaan dengan bunyi batang pohon dan dinding yang terkena peluru. Saya spontan tiarap sambil terus merekam di handycam.
Sekitar 1 jam saya bersama para polisi, saya berinisiatif untuk kembali ke mako polres. Saya ke rumah rekan saya Iwan dengan harapan rekan-rekan lainnya masih berada disana. Ternyata mereka sudah lebih dulu kembali. Saya terpaksa menggunakan sepeda motor Iwan untuk menuju ke Polres.
(tulisan lainnya silakan dilihat di http://ajipalu.wordpress.com)

0 komentar:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More